-->

Friday, September 29, 2017

Mengukuhkan Nirwana (part 1)

Tiada lawan waktu dan ajal. 
Di kepalaku mereka bergelar maut. 
Keputusan yang tepat ku rasa. 
Semenjak liarnya pikiran dan keruhnya batin ku hantam dengan kehancuran besar,  berangsur-angsurlah keajaiban pun datang. 

Aku bukan ahlinya menghapus ingatan dan kenangan. 
Tapi menghapus sesuatu yang tidak penting dari hidupku adalah hal mudah. 
Ajaib namun sungguh sarkas. 
Fokus kedua mataku akan membesar,  apa lagi kepada hidup tempat aku bercermin. 
Pikiranku mampu mewajarkan sudut-sudut pandang yang menjauhi kata lumrah. 
Dia sang kepala. 

Hatiku dan segenap isinya mampu meredam keinginan tubuhku yang ada sekarang. 
Telah diujarkan kepadaku,  dan diajarkan kepadaku melalui tumpukan kepahitan. 
Semauku saja,  aku bisa menjadi apa pun. 
Pantang bagi lidah ini sampai terucap kata tidak mungkin
Sebab dunia ini selalu punya cara konyol membuktikan bahwa aku bersalah. 
Dialah ekor. 

Sampailah pada suatu ketika di mana aku  diuji. 
Jangan kamu uji cintamu kepada yang lain,  wahai pecinta. 
Jangan pula kekasih menguji cintanya sendiri,  wahai cintamu. 
Aku dan sisa-sisa milikku yang ada padaku jauh lebih berharga. 
Terlebih bila refleksi adalah nilai ketertarikan yang kamu cari,  tersendiri dari siapa-siapa. 
Ketetapan adalah ketetapan. 
Dengan tegas ku katakan ini kepadamu,  agar kamu berkecukupan tentang ambisimu itu. 
Sebelum semua jadi terlampau jauh. 

Hujan tahu kapan saatnya ia berhenti. 
Tangis tanah akan selalu kering,  tangisan langit akan selalu sejenak. 
Aku dihimpit keduanya sebab aku terus melayang-layang. 
Sosok yang sepertinya tidak pernah benar-benar ada dalam duniamu. 
Aku bukan binatang yang kepala dan ekornya dapat kamu satukan dengan ujianmu itu. 

Sudahlah....
Terlalu tua dan dewasa bahasamu tentang jiwa. 
Istirahatlah....
Sadari batukmu itu,  bungkukmu,  segala angguk-angguk palsu itu. 
Kamu bukan binatang yang lebih rendah dariku. 
Hanya saja sebagai binatang,  kodrat yang kamu akui adalah kodrat yang bukan milikmu. 
Engkau teramat serakah,  dan degil. 

Sombonglah jika kamu berhasil mengintimi batin sendiri. 
Paksa ia berteriak. 
Jejali terus desak ia agar meledak. 
Silahkan puaskan dirimu bermain-main di sana. 
Tunggu aku datang kembali. 

Ingatlah hal ini. 
Lehermu akan ku pancung dengan maaf. 
Bila kemahsyuranmu itu ternyata lebih dulu memotong kedua tangan ini,  akan ku injakkan ladam bara belas kasih di sekujur tubuhmu dengan membabi-buta. 

Jika perisai duri itu ternyata lebih cepat meracuni leherku dan membuatnya putus membusuk,  akan ku sumpah serapah kamu dengan segenap daya upaya lidahku,  telingamu akan ku buat bosan dengan doa dan keyakinan. 

Bahkan bila maut terpaksa merenggutku sebagai yang pertama,  semangatku tentang kejujuran dan kesabaran akan penerimaan yang ku pastikan selalu jadi momok bagimu. 

Dan belum akan berakhir,  saat maut jadi giliranmu pun aku akan hadir di sana hari itu,  saat tabur bunga pemakamanmu. 

Apa kamu percaya kepadaku sungguh?
Karena aku tak mendengar suara dari hatimu. 
Usai malam dan mimpi ini berlalu tidak ada lagi  tempat bagi parasmu,  bahkan dalam rajutan angan langkah ini. 

Apa kamu menginginiku sangat? 
Mengapa kamu mengingkari dua kodrat dalam peristiwa ini? 
Jangan resah lalu tak tentu arah. 
Perintahkan!,  terbukalah semua pintu dan jendela bahagia yang tertutup

Apakah kamu berprasangka pada takdir? 
Sebab tak ku terima kata-kata manismu selain tentang keraguan. 
Kamu menyesali semuanya? 
Sepertinya gairah telah ditepis hilang oleh bimbang. 
Ketetapanmu sebagai dara,  pesona,  anggun,  dan segala rindu telah dilahap terpikat keinginanmu. 

Sesalilah...,  bila telah tertukar kenyataan dengan birunya impian tanpa makna. 
Meski harum jiwaku,  tak lagi mungkin asamu ku gapai. 
Aku mengerti dan merasakan gejolak jiwamu. 
Bila semudah itu semua ini berlalu,  artinya tak akan pernah ada pagi atau senja kenikmatan buai kasmaran kita bersama. 

#citra_autisimo

No comments:

Post a Comment

Silahkan ketik komentar, kritik, atau saran anda di sini...

Arsip

addThis

addThis